Kamis, 27 November 2008

Pancasila dan pembentukan moral
Generasi muda




OLEH :

ARY FERNANDO (081012078)





DOSEN :

1. MISWARDI, S.H, M.Hum
2. GUSRIL BASYIR, S.H, M.Hum






MATA KULIAH
PENDIDIKAN PANCASILA







PROGRAM STUDI TEKNIK KOMPUTER
SEKOLAH TINGGI TEKNIK PAYAKUMBUH


NOVEMBER 2008
PENDAHULUAN


Pancasila, Masih Adakah?

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila banyak memegang peranan yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, salah satunya adalah “Pancasila sebagai suatu sistem etika”.

Di dunia internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang dijunjung tinggi dan banyak lagi, dan pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa ini sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab didunia.

Kecenderungan menganggap acuh dan sepele akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukan hal yang susah dan bukan hal yang gampang, karena berasal dari tingkah laku dan hati nurani.

Pancasila--yang dirumuskan 1 juni 1945--oleh Soekarno dan disepakati menjadi ideologi dan cita hukum bangsa Indonesia, hari-hari ini dalam kondisi kesepian. Ia seperti ditinggalkan di panti, jarang ditengok dan megap-megap. Mungkin, kita sebagai bangsa, lebih tertarik menggunakan kemeja dan jas orang lain, bisa itu neo liberal-kapitalistik, sosialisme atau sedikit agak komunis dan sebagainya. Tapi, kalau Pancasila? Muram.
Padahal, Pancasila merupakan common platform atau istilah Cak Nurcholis, kalimatun sawa, titik temu pelbagai kepentingan dari bangsa ini yang plural. Pancasila juga menjadi cita hukum di mana kalau mengikuti pendapat A Hamid S Attamimi, ia bisa menjadi bintang pemandu (leittern) bagi tegaknya hukum di tanah air. Sebab, Pancasila merupakan guiding principle dan kaidah evaluasi dan kritik baik bagi pembentukan hukum maupun penegakan hukum.

Mungkin, kita harus kembali mengingat sila-sila Pancasila. Merefleksikan dan mempraktikan dalam perkembangan bangsa ini. Untuk itu, setback ke jati diri merupakan keniscayaan. Sebab, bangsa yang abai pada ideologinya sendiri hanya akan menjadi "santapan' bangsa lain di dunia. Ia kehilangan identitas, seperti kehilangan KTP. Bisa sesat dibelantara globalisasi.

Bagaimana mempraktikan lagi falsafah Pancasila. Pertama, kita harus berwawasan terbuka, berfikir global dan bertindak lokal. Kedua, merenungi semua prilaku dan praktik bernegara apakah bersenyawa dengan Pancasilan. Ketiga, membangun iptek dan perekonomian dengan dasar Pancasila sehingga tercipta semangat kesejahteraan bersama dan keutuhan bangsa.
Mungkin, pelbagai statement di atas terasa klise. Tapi, tidak ada jalan lain untuk menuju perubahan lebih baik.

LATAR BELAKANG

Globalisasi telah menimbulkan pengaruh yang sangat luas dalam dimensi masyarakat. Malcolm Waters (Tilaar: 1997) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Globalisasi yang merupakan universalisasi nilai-nilai menyebabkan kearifan lokal menjadi luntur. Hal ini menyangkut dengan moral bangsa yang juga akan terpengaruh dengan moral luar yang tentunya akan lebih kuat mempengaruhi karena dalam globalisasi, negara-negara majulah yang akan menguasai.

Dalam rangka pembangunan untuk meningkatkan daya saing, diperlukan suatu bentuk moral yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa dan falsafah hidup timur yang termahsyur dengan sopan santun dan keramahtamahannya. Hal yang semacam inilah yang perlu dimiliki generasi muda. Tetapi dalam kenyataannya sebagian generasi muda juga telah kehilangan moral.
.

Generasi muda adalah sosok warga negara yang memiliki tanggung jawab penuh akan dibawa kemana negeri ini dibawa berlari. Apakah menuju kebangkitan yang begitu saat ini begitu santer digalakkan atau justru menuju keterpurukan. Analisa dari kebangkitan dan keterpurukan di masa depan berkaitan erat dengan kondisi agen of change saat ini. Agen of change yang dimaksud adalah para generasi muda.

Moralitas generasi muda merupakan unsur penting dalam proses sejauh mana mahasiswa berperan dalam pembangunan untuk menyambut kebangkitan. Moralitas dalam kajian ini tidak hanya berkaitan dengan salah satu nilai religi (agama Islam-akhlak) saja, melainkan secara umum.

Untuk itu dalam mengaplikasikan nilai-nilai moral muncul pertanyaan, apa sebenarnya moral itu, apa yang menyebabkan kemerosotan moral, bagaimanakah kondisi kemerosotan moral generasi muda di Indonesia saat ini, dan bagaimana cara memperbaiki dan menjaga moral generasi muda?


TUJUAN

Generasi muda sebagai generasi dimana atap bangsa akan didirikan harus memiliki moralitas tinggi agar dapat menjadi filter bagi pengaruh buruk dari globalisasi. Oleh karena itu, mahasiswa perlu tahu pengertian tentang moral, tahu penyebab merosotnya moral, tahu kondisi moral saat ini, dan tahu cara memperbaiki dan menjaga moral.





ISI

1. PENGERTIAN NILAI, NORMA dan MORAL

Dalam pembentukan sistem etika dikenal namanya nilai, norma dan moral. Penulis akan coba membahas pengertian tiap-tiapnya, dan hubungan antaranya.

a. Pengertian

Nilai : Sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek, bukan obyek itu sendiri
Norma : Aturan tingkah laku yang ideal
Moral : Integritas dan martabat pribadi manusia
Sedangkan etika sendiri memiliki makna suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.

b. Hubungan nilai, norma dan moral

Nilai, norma dan moral langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan yang cukup erat, karena masing-masing akan menentukan etika bangsa ini. Hubungan antarnya dapat diringkas sebagai berikut :
1. Nilai
Nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (lahir dan batin).
- Nilai bersifat abstrak hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayatiolehmanusia;
- Nilai berkaitan dengan harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan batiniah manusia
- Nilai dapat bersifat subyektif bila diberikan olehs ubyek, dan bersifat obyektif bila melekat pada sesuatu yang terlepasd arti penilaian manusia
2. Norma: wujud konkrit dari nilai, yang menuntun sikap dan tingkah laku manusia. Norma hokum merupakan norma yang paling kuat keberlakuannya karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal, misalnya penguasa atau penegak hokum
3.Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika
4.Makna mora lyang terkandung dalam kepribadian seseorang akan tercermin pada sikap dan tingkah lakunya. Norma menjadi penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
5.Moral dan etika sangat erat hubungannya. Etika adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan tersebut. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga maacam, yaitu:
1.) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.
2.) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohanimanusia nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam yaitu :
a) Nilai kebenaran
b) Nilai keindahan
c) Nilai kebaikan
d) Nilai religius



2. PEMBENTUKAN MORAL GENERASI MUDA

Kelompok orang yang sudah mulai alergi terhadap Pancasila, sering mengira bahwa penghambat kemajuan bangsa ini adalah Pancasila. Pendapat itu merupakan pendapat yang sangat keliru, karena tidak disertai pemahaman yang menyeluruh tentang makna serta hakikat Pancasila.

Pancasila itu ibarat pisau emas yang bermata berlian. Ditinjau dari bahannya, pisau itu terbuat dari logam mulia serta batu yang sangat mulia. Dan pisau emas bermata berlian itu sangat tajam. Kemuliaan dan ketajamannya dapat digunakan untuk apa saja oleh siapa saja. Pisau itu dapat digunakan untuk memasak, untuk berkarya membuat ukiran patung yang indah, untuk mencari air dan mata pencaharian demi kesejahteraan dan ketenteraman, tetapi dapat pula untuk menodong, bahkan membunuh. Pisau itu pun dapat dibuang, digadaikan, atau dijual bagi orang yang tidak mengerti nilai (value). Permasalahannya sangat bergantung pada manusia pemakainya.

Seekor monyet, jika disuruh memilih antara pisang atau pisau emas yang bermata berlian tadi, pasti akan memilih pisang. Lain halnya dengan manusia yang memang menyadari akan harkat dan martabat kemanusiaannya. Manusia seperti ini pasti akan memilih pisau emas yang bermata intan itu, karena sadar akan nilai yang terkandung di dalamnya. Kalau toh pisau emas bermata berlian tadi berada di tangan monyet, paling digunakan untuk mencuri pisang dengan segala keserakahannya, setelah itu dibuang.

Pancasila yang luhur itu selama ini berada di bumi pertiwi sering sekali mengalami nasib bagaikan mahkota emas bertatahkan intan, berlian dan permata mulia tetapi dipakai oleh babi-babi yang tidak berbudaya, atau monyet yang tak mengerti nilai.

Manusia yang tak tahu nilai, ibarat makhluk yang sudah kehilangan sifat insani kemanusiaannya ( lir jalma kang wus koncatan sipat kamanungsane ).





Kandungan Pancasila yang merupakan ikhtisar dari Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran kitab suci Al-Qur’an. Nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila, walaupun tidak tertulis dalam bentuk rumusan, sangat sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi pekerti yang dimiliki, dijunjung tinggi, serta diamalkan sebagai landasan hidup oleh bangsa-bangsa maju yang berperadaban tinggi di dunia. Dengan demikian Pancasila ini merupakan ideologi yang bersifat universal. Di dalam Pancasila terkandung pula nilai-nilai sosialis religius, bahkan lebih sempurna. Tetapi sayang, nilai-nilai luhur itu nampaknya belum pernah termunculkan dalam kehidupan sehari hari, bahkan sering ditafsirmiring atau diselewengkan oleh oknum-oknum pemimpin, sehingga banyak orang yang meributkan atau mempermasalahkan/ mempertentangkan antara Pancasila dengan Islam, Pancasila dianggap kurang baik jika dibandingkan dengan faham Sosialis Religius, dan sebagainya.

Pandangan-pandangan negatif terhadap Pancasila itu muncul barangkali karena prasangka bahwa Pancasila itu adalah identik dengan Sukarnoisme ( sosialisasi Pancasila ), atau Soehartoisme ( liberalisasi Pancasila ) seperti yang tercantum dalam materi Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila. Pancasila adalah Pancasila.

Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk :
1. Perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian,
2. Transmisi cultural,
3. Integrasi social,
4. Inovasi, dan
5. Pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja ( Bachtiar Rifai).

Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain :
1. Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti :
1memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia
2. Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar.
3. Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).


Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.

Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti :
1. Meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar.
2. Meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri.
3. Berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang,
4. Meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis,
5. Munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian,
6. Berbahsa tidak sopan,
7. Merosotnya etika kerja,
8. Meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara,
9. Timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri,
10.Timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).

Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992. P. 53 )

Pada sisi lain, dewasa ini pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan agama akan tetapi masih tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya Di samping penyajian materi pendidikan moral di sekolah, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat Bagi para siswa,adalah lebih banyak untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran PPKn dirasakan sebagai beban, dihafalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari.


KESIMPULAN

Sungguh bangga rasanya memiliki sebuah kebudayaan yang sangat tak ternilai harganya dan memiliki arti yang sangat besar. Pancasila sebagai dasar negara telah berhasil membentuk jati diri bangsa ini. Akan tetapi sanggupkah kita untuk tetap mempertahankannya dan melestarikannya keanak cucu kita ??

Sebagai generasi muda bangsa ini, penulis mengajak segenap pembaca untuk mau mengenali pancasila terlebih memahami bahwa pancasila sebagai suatu sistem etika bangsa ini.























PENUTUP


Moral yang merupakan keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku sudah mulai tidak lagi digunakan sebagai penunjuk jalan berperilaku, terutama bagi mahasiswa yang merupakan agen pembangunan. Demoralisasi kaum akademik ini sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia baik untuk saat ini maupun masa depankelak.

Secara umum bentuk dari perilaku amoral mahasiswa adalah seks bebas, minuman keras, narkoba, perkelahian atau juga tawuran, kriminalitas dan lain-lain. Semua hal tersebut ditandai dengan budaya hura-hura, mengutamakan duniawi dan konsep just for having fun.

Solusi tepat untuk mengatasi demoralisasi mahasiswa adalah berupa penanaman nilai-nilai keagamaan sehingga menumbuhkan keimanan pada masing-masing agamanya, pembekalan ilmu yang cukup sebagai referensi dalam bertindak, dan yang terakhir adala pengamalan mahasiswa yang memiliki ethos kerja tinggi dalam rangka berkarya untuk masyarakat.

Tidak ada komentar: